66 Tahun Indonesia
Puisi yang Berbeda di Tempat Berbeda Diselang Waktu yang Singkat
Jum'at 24 Juni 2011 malam, mungkin menjadi hari yang mengejutkan untuk pak Dada Rosada sebagai Walikota Bandung. Bapak Walikota diundang untuk meresmikan pameran foto Bung Karno yang berlangsung di Gedung Indonesia Menggugat dan memberikan sambutan pada pameran tersebut. Seusai sambutan, aku menyampaikan puisi karya Bung Karno yang menjadi tema pameran, Aku Melihat Indonesia. Turun Dari panggung, aku bersalaman dengan Bapak Walikota dan sempat mendapat pertanyaan tentang usia, sekolah, dan lain-lain, lalu bersalaman dengan Bapak Wakil Walikota yang ramah dan jajaran depan anggota PDI perjuangan.
Acara di Gedung Indonesia Menggugat terus berlanjut namun aku harus bergegas menuju Gedung New Majestic. Berganti kostum dan menunggu tamu utama yang akan meresmikan lauching Braga Festival 2011. Acara kemudian segera dibuka dengan tarian bergaya Eropa setelah Bapak Walikota Bandung datang. Sebelum penanda tanganan karya-karya seni yang menjadi simbol launching, aku naik ke atas pentas dan meyuarakan kegelisahan Diro Aritonang akan kondisi Braga masa kini, yang tertuang dalam puisinya berjudul Braga Braga braga.
Diatas pentas, aku melihat wajah Bapak Walikota Bandung yang serius memperhatikan lalu tertawa ketika aku memperkenalkan namaku sebagai prolog puisi seperti sebelumnya di Pameran Foto Bung Karno sekitar satu jam yang lalu.
Kedua acara ini juga menjadi acara yang istimewa untukku karena tantangannya untuk tampil sebaik-baiknya dihadapan publik yang mengidolakan Bung Karno, presiden pertama Indonesia yang berkharisma dan para pengusaha yang akan turut menyukseskan terselenggarakannya Braga Festival pada 23-24 September 2011 nanti.
Kesuksesan untuk menjadi pengisi acara utama di kedua kegiatan yang berbeda ini, tentunya tidak lepas dari kepercayaan tante Diah Pitaloka dari PDI Perjuangan dan Bunda Tita dari panitia Braga Festival yang mendaulat aku untuk menjadi penyaji puisi. :)
Mimbar Teater Indonesia 2010
Menambah teman-teman baru untukku, mengenal penggiat teater dari seluruh pelosok Indonesia yang belum sempat aku kenal sebelumnya, dan dikenal audiens baru di Solo pada khususnya. Teman-teman baru dari Makasar seperti om Asdar Muis, Luna Vidya dan seorang penggemarku yang sangat hapal tentang aku, ka Dedi atau lebih dikenal dengan Abdi Karya benar-benar membuat acara ngobrol bareng di kafe Taman Budaya Surakarta sangat meriah bersama om Mike atau Michael Bodden dari University of Victoria, Canada dan Tamara Aberle dari London England.
Di Solo, aku juga didampingi seorang L.O, ka Puti yang kuliah di jurusan ekonomi tapi suka berteater (universitasnya aku lupa), bercanda dengan kakak-kakak yang menjadi sekretariat dan mbak Lawu yang ramah sebagai ketua sekretariatnya.
Suasana tambah menyenangkan ketika om Putu Wijaya, om Halim HD juga mulai hadir pada hari Sabtu siang (9 Okt 2010), ngobrol bareng dengan teman-temanku dari Makasar dan berfoto bareng.
Suasana akrab yang aku alami, nampaknya tidak dialami oleh semua penyaji Mimbar Teater Indonesia. Mereka terlalu sibuk mempersiapkan pementasan sehingga melupakan tujuan utama dari mimbar ini [kata ayahku] yakni berinteraksi dan bertukar pengalaman, bahkan ada beberapa penyaji yang datang langsung berlatih, orientasi panggung lalu tampil dan kemudian langsung pulang lagi seperti sedang mengisi acara suatu festival atau pertunjukan live.
Bagiku, orientasi panggung hanya perlu sedikit penyesuaian dari latihan sehingga aku bisa menikmati perbedaan antara mimbar dan festival.
Bagiku, orientasi panggung hanya perlu sedikit penyesuaian dari latihan sehingga aku bisa menikmati perbedaan antara mimbar dan festival. Aku membawakan naskah monolog karya om Putu Wijaya berjudul Tok Tok Tok yang ditulis pada 11 April 2010 dan menjadi orang pertama yang menyajikan naskah ini [ya kan om Putu?] di SD Cemara 2 Solo (9 Okt 2010) dan Teater Arena Taman Budaya Surakarta (10 Okt 2010).
Aku di Indonesia's Got Talent 2010
Ditahap awal pilihan juri, aku juga sempat dicubit dengan satu "No" dari juri yang berbasic teater, sehingga ayahku sempat meragukan kapabilitas jurinya dan membujukku untuk mundur, namun ketika aku bersikeras, beliau membekali aku dengan nasehat agar aku tetap tampil sebaik-baiknya meskipun aku mungkin tidak mendapatkan simpati juri.
Disebuah kompetisi, kalah dan menang memang akan terjadi dan aku harus siap menghadapi kemungkinan terburuknya, namun ketika aku tidak berlanjut setelah babak semifinal, aku sempat menangis lagi dan kali ini bukan menangis haru, melainkan menangis sedih karena (lagi-lagi ayah telah mengingatkan aku ketika berorasi dengan bahasa Inggris, mungkin hanya sedikit masyarakat Indonesia yang mengerti, tapi jika produser acara yang mengatur durasinya memungkinkan aku untuk mengorasikan juga versi Indonesianya, masyarakat Indonesia akan banyak mendukung aku melalui voting SMS sehingga aku tidak perlu simpati juri) ternyata memang hanya sedikit orang yang mengerti isi orasiku.
Sebuah pelajaran berharga mahal untukku, namun telah membuat aku semakin kuat dan sedikit banyaknya, tujuanku juga telah tercapai karena lambat namun pasti aku mulai mendapat teman dan fans baru dari publik luas. Terimakasih Freemantle, terimakasih Indosiar, terimakasih masyarakat Indonesia dan warga dunia yang telah mendukung aku.