Mimbar Teater Indonesia 2010

Menambah teman-teman baru untukku, mengenal penggiat teater dari seluruh pelosok Indonesia yang belum sempat aku kenal sebelumnya, dan dikenal audiens baru di Solo pada khususnya. Teman-teman baru dari Makasar seperti om Asdar Muis, Luna Vidya dan seorang penggemarku yang sangat hapal tentang aku, ka Dedi atau lebih dikenal dengan Abdi Karya benar-benar membuat acara ngobrol bareng di kafe Taman Budaya Surakarta sangat meriah bersama om Mike atau Michael Bodden dari University of Victoria, Canada dan Tamara Aberle dari London England.

Di Solo, aku juga didampingi seorang L.O, ka Puti yang kuliah di jurusan ekonomi tapi suka berteater (universitasnya aku lupa), bercanda dengan kakak-kakak yang menjadi sekretariat dan mbak Lawu yang ramah sebagai ketua sekretariatnya.
Suasana tambah menyenangkan ketika om Putu Wijaya, om Halim HD juga mulai hadir pada hari Sabtu siang (9 Okt 2010), ngobrol bareng dengan teman-temanku dari Makasar dan berfoto bareng.
Suasana akrab yang aku alami, nampaknya tidak dialami oleh semua penyaji Mimbar Teater Indonesia. Mereka terlalu sibuk mempersiapkan pementasan sehingga melupakan tujuan utama dari mimbar ini [kata ayahku] yakni berinteraksi dan bertukar pengalaman, bahkan ada beberapa penyaji yang datang langsung berlatih, orientasi panggung lalu tampil dan kemudian langsung pulang lagi seperti sedang mengisi acara suatu festival atau pertunjukan live.
Bagiku, orientasi panggung hanya perlu sedikit penyesuaian dari latihan sehingga aku bisa menikmati perbedaan antara mimbar dan festival.

Bagiku, orientasi panggung hanya perlu sedikit penyesuaian dari latihan sehingga aku bisa menikmati perbedaan antara mimbar dan festival. Aku membawakan naskah monolog karya om Putu Wijaya berjudul Tok Tok Tok yang ditulis pada 11 April 2010 dan menjadi orang pertama yang menyajikan naskah ini [ya kan om Putu?] di SD Cemara 2 Solo (9 Okt 2010) dan Teater Arena Taman Budaya Surakarta (10 Okt 2010).

Aku di Indonesia's Got Talent 2010



Mengikuti Indonesia's Got Talent 2010 adalah menjadi salah satu jalan bagiku untuk dikenal publik lebih luas lagi karena sebelumnya aku hanya dikenal oleh kalangan exclusive, tapi di tahap semifinal ketika voting SMS menempatkan pada pilihan juri, aku justru tidak mendapat suara dari 2 juri yang mempunyai basic teater dan basic produser sinetron. Hanya seorang juri yang mempunyai basic sebagai penyanyi justru memberikan yes untukku, bukan pada penyanyi yang menjadi rival pilihan.
Ditahap awal pilihan juri, aku juga sempat dicubit dengan satu "No" dari juri yang berbasic teater, sehingga ayahku sempat meragukan kapabilitas jurinya dan membujukku untuk mundur, namun ketika aku bersikeras, beliau membekali aku dengan nasehat agar aku tetap tampil sebaik-baiknya meskipun aku mungkin tidak mendapatkan simpati juri.

Disebuah kompetisi, kalah dan menang memang akan terjadi dan aku harus siap menghadapi kemungkinan terburuknya, namun ketika aku tidak berlanjut setelah babak semifinal, aku sempat menangis lagi dan kali ini bukan menangis haru, melainkan menangis sedih karena (lagi-lagi ayah telah mengingatkan aku ketika berorasi dengan bahasa Inggris, mungkin hanya sedikit masyarakat Indonesia yang mengerti, tapi jika produser acara yang mengatur durasinya memungkinkan aku untuk mengorasikan juga versi Indonesianya, masyarakat Indonesia akan banyak mendukung aku melalui voting SMS sehingga aku tidak perlu simpati juri) ternyata memang hanya sedikit orang yang mengerti isi orasiku.
Sebuah pelajaran berharga mahal untukku, namun telah membuat aku semakin kuat dan sedikit banyaknya, tujuanku juga telah tercapai karena lambat namun pasti aku mulai mendapat teman dan fans baru dari publik luas. Terimakasih Freemantle, terimakasih Indosiar, terimakasih masyarakat Indonesia dan warga dunia yang telah mendukung aku.
Theme © Copyright 2009-2011 Teater AN | Blogger XML Coded And redesigned by Aubmotion